Breaking News

Dirgahayu ke-20, MKRI Wujud Nyata Sebagai Pelindung Hak Rakyat

 

Perjuangan Hak Asasi Manusia dalam pengujian undang - undang.

DENPASAR - Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) akan berusia 20 tahun pada tanggal 13 Agustus 2023 nanti. Harapan rakyat terhadap keberadaan MKRI patut untuk terus dijaga, masyarakat perlu tahu pentingnya MKRI bagi negara dan masyarakat luas.

MKRI merupakan wujud dari perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Pada  2003, Indonesia menjadi negara ke-77 yang mengadopsi  MK dalam sistem ketatanegaraannya.

Sesuai judul “Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Pengujian Undang-Undang " , ini merupakan bagian dari perjuangan kita bersama.

Lahirnya MK yang memiliki kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD 1945, merupakan kewenangan penyeimbang (check and balances) terhadap kewenangan lainnya yang dimiliki oleh lembaga eksekutif maupun legislatif.

Seumpama Jika lembaga eksekutif dan legislatif memiliki kewenangan secara positif untuk membentuk undang-undang, maka MK memiliki kewenangan secara negatif, untuk membatalkannya.

Landasan berpikir untuk menjaga keseimbangan antara lembaga negara ini, berangkat dari pemikiran tentang perlunya keseimbangan antara sistem demokrasi yang mengedepankan kedaulatan rakyat, dengan kedaulatan norma yang telah menjadi konsensus bernegara.

Perlu diingat fitrah dari kekuasaan yang lahir dari sistem demokrasi bersifat mayoritarian dan memiliki kecenderungan menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya. Akibat dari kedudukannya yang bersifat mayoritas tersebut, maka kewenangan lembaga legislatif dan eksekutif dalam membentuk suatu undang-undang, diatur secara ketat, baik secara formil maupun materiil.

Salah satu contoh perjuangan masyarakat Adat, dalam konteks perlindungan HAM bagi masyarakat adat. MK melalui Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukan oleh beberapa asosiasi pengurus masyarakat hukum adat menguji norma Pasal 1 angka 6 yang berbunyi,

“Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”

Tentu norma demikian menurut argumentasi Pemohon merupakan bentuk pengingkaran terhadap keberadaan hutan adat yang telah menjadi tempat tinggal masyarakat hukum adat secara turun temurun.

Karena dengan definisi norma tersebut, maka hutan adat bukan merupakan hak / milik dari masyarakat hukum adat, melainkan merupakan hutan negara yang sewaktu-waktu bisa saja negara memanfaatkannya tanpa memerlukan persetujuan/izin dari masyarakat hukum adat yang telah secara turun temurun bertempat tinggal di dalam wilayah hutan tersebut. Padahal hutan adat seharusnya didefinisikan sebagai tanah dengan hak ulayat yang menjadi hak bagi masyarakat hukum adat (MHA).

Atas permohonan inilah sebagai contoh bagi masyarakat luas atas peran Mahkamah Konstitusi untuk dapat merevisi, mencopot, menghapus aturan - aturan yang sebagaimana mestinya yang menjadi kontrol yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. (Icha)

No comments