Pembantaian KPK Oleh Oligarki
![]() |
Penulis : Muhammad Iqbal
Tirta Amarta (klik link)
OPINI GATRA | JAKARTA | Sebelumnya saya ingin mengusulkan agar Novel Baswedan ganti nama menjadi Novel Misteri atau Detektif agar tidak dikait-kaitkan dengan Anies Baswedan dan kadrunisasi di KPK. Padahal setahu saya Anies Baswedan jebolan Paramadina asuhan Almarhum Cak Nur yang berislam mengedepankan logika dan begitu moderat. Kaitan dengan Anies Baswedan dan kadrunisasi di KPK inilah yang menjadi salah satu desas-desus utama yang dikedepankan oleh Buzzerp asuhan oligarki, yang kemudian diikuti oleh mereka yang padam akal sehat dan logikanya namun lihai memainkan jemarinya di papan tuts, untuk secara sistematis dan masif melemahkan dan membantai KPK.
Setelah saya cek fakta dan data, ternyata Novel Misteri (maaf, namanya saya ganti agar pembaca dapat obyektif menilai tak terpengaruh oleh prasangka negatif yang tersirat dibalik sebuah kata) disiram air keras pada tanggal 11 April 2017, sedangkan Anies Baswedan baru dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 16 Oktober 2017. Bagi yang masih sehat akalnya, mengaitkan perlindungan Novel Misteri terhadap Anies Baswedan dalam proses pembantaian KPK jelas adalah sesuatu hal yang tidak dapat dinalar. Novel Misteri telah berusaha dibungkam dan dianiaya sebelum Anies Baswedan menjadi Gubernur.
Adapun penggaungan desas-desus kadrunisasi di KPK gugur dengan sendirinya karena infonya 8 dari 75 pegawai KPK - yang konon merupakan pegawai-pegawai paling berintegritas dan sedang menangani kasus-kasus korupsi kelas kakap - yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) adalah Non Muslim. Komposisi tersebut cukup melambangkan keberagaman bangsa ditinjau dari agamanya. Dan TWK tersebut berikut pertanyaan-pertanyaan nyeleneh di dalamnya, namun isunya menggagalkan ke 75 pegawai KPK tersebut, telah dikritik keras oleh MUI, NU dan Muhamaddiyah. Akan elok bilamana organisasi keagamaan lainnya turut menyuarakan penolakan terhadap TWK tersebut, karena pemberantasan korupsi adalah masalah utama bangsa yang terdiri dari beragam suku, bangsa dan agama ini.
Kiat melemahkan dan membantai lembaga anti rasuah ini tidak hanya terjadi di rezim ini saja. Akan tetapi selama ini gagal karena begitu kuatnya kepercayaan dan dukungan publik terhadap KPK. Oleh karenanya, bila tidak dapat dibantai dari luar, maka hancurkanlah KPK dari dalam. Hal ini menurut pendapat saya dimulai dari dipilihnya pansel pimpinan KPK yang sarat dengan benturan kepentingan (silahkan googling sendiri tentang pansel pimpinan KPK 2019), revisi UU KPK tahun 2019, dan penggagalan menjadi ASN pegawai-pegawai KPK yang berintegritas dan sedang menangani kasus korupsi kelas kakap melalui TWK. Tujuan akhirnya adalah mengubur eksistensi lembaga anti rasuah ini dari Ibu Pertiwi Indonesia.
Lalu siapa tokoh utama di belakang pembantaian secara sistematis dan terstruktur lembaga anti rasuah ini? Pendapat saya, tak lain dan tak bukan adalah oknum oligarki di belakang pemerintahan saat ini. Demokrasi prosedural kebablasan (bukan substansial) membutuhkan biaya sangat mahal untuk memilih seorang pemimpin. Disinilah para oligarki dengan kekuatan keuangan yang maha kuasa di belakangnya berandil besar untuk menghasilkan pemimpin yang dapat menjaga kepentingan mereka. Demokrasi prosedural saat ini membutuhkan dana besar untuk menjaga eksistensi dan membesarkan partai politik, membiayai kampanye pemenangan partai dan calon presiden untuk mendulang suara saat pemilu, membiayai BuzzeRp melaksanakan pencitraan atau menghancurkan nama musuh politiknya, serangan fajar, dan lain sebagainya. Dan masing-masing oknum politisi atau pemimpin tersebut juga mesti keluar uang pribadi untuk memastikan keterpilihannya di tiga lembaga pilar demokrasi substansial. Runyamnya lagi, bahkan konon untuk menduduki jabatan-jabatan puncak di cabang kekuasaan dalam tiga lembaga pilar demokrasi tersebut, kebanyakan harus keluar biaya atau membuat kesepakatan-kesepakatan tertentu.
Tentunya para oknum oligarki, politisi, pemimpin, dan pejabat tersebut harus mengusahakan segala cara untuk mengembalikan modal yang membuat mereka duduk di posisi nyaman itu. Dan mereka secara sadar paham bahwa mengembalikan modal tersebut, disamping memperkaya diri sendiri, adalah melalui penyelewengan dana APBN dan APBD ataupun konsesi-konsesi usaha. Disinilah keberadaan KPK menjadi ganjalan besar, yang membuat para pejabat pembuat komitmen atau berwenang dalam pengadaan barang atau konsesi-konsesi usaha dengan muatan mengembalikan modal dan memperkaya diri sendiri serta golongannya, takut membuat keputusan. Tentu saja akan takut, karena mereka tahu ada muatan KKN di dalam pengadaan tersebut dari oknum pimpinannya, yang dapat menyebabkan jeratan hukum bagi mereka. Dan dari sini jugalah mengemuka isu bahwa keberadaan KPK menghambat pembangunan.
Akan tetapi, yang mesti kita sadari, apapun partainya, siapapun politisinya, bagaimanapun pemimpin dan pejabatnya, politik uang dan balas jasa adalah lingkaran setan yang akan terus terjadi di Republik ini, selama sistem demokrasi liberal kebablasan berjalan di Negara yang berlandaskan musyawarah dan mufakat ini, yang masih membutuhkan tingkat pendidikan yang memadai bagi seluruh rakyatnya serta pemahaman hakikat terhadap ajaran-ajaran leluhur dan agamanya masing-masing, untuk dapat berdemokrasi secara substansial. Namun permasalahan kebangsaan tersebut tidak dapat dijadikan pembenaran terhadap kejahatan luar biasa di depan mata, yaitu korupsi, apalagi menyebabkan terbantainya KPK yang merupakan lembaga yang dibutuhkan untuk mulai membenahi dari hilir permasalahan bangsa ini.
Kita mesti menyadari, desas-desus dalam proses pembantaian KPK seperti kadrunisasi, tebang pilih, menghambat pembangunan, melindungi Anies Baswedan, adalah ulah mereka yang terganggu kepentingannya seperti yang saya ulas di atas. Pasti ada kelemahan dari KPK, karena manusia adalah tempatnya alpa dan salah. Namun, kuatkanlah KPK, bukan malah dibantai dari luar dan dalam. Ke depan, pilihlah pimpinan KPK yang berintegritas dan sebisa mungkin lepas dari benturan kepentingan, dimulai dari penentuan pansel dengan rekam jejak yang sama, revisi kembali UU KPK sehingga benar-benar menguatkan. Dan biarlah publik yang jadi pengawas KPK seperti yang lalu, karena kita sulit berharap kepada tiga pilar demokrasi yang dihasilkan melalui demokrasi liberal kebablasan saat ini.
Lembaga Anti Rasuah ini adalah esensi utama dari perjuangan saat lepas dari rezim otoriter dan sarat korupsi di tahun 1998. Mari kita jaga bersama dari dugaan proses pelemahan dan pembantaian yang sedang terjadi dari luar dan dalam saat ini. (Red)
No comments