Breaking News

Dewa Sudarsana : Jangan rumah sendiri yang bobol, rumah orang digembok kencang

Awak media, kanan Dewa Sudarsana (baju motif merah)

OPINI GATRA | DENPASAR | Polemik tentang keberadaan kepercayaan Hare Kresna yang baru-baru ini terjadi membuat I Dewa Putu Sudarsana selaku anggota masyarakat yang mengamati publik khususnya Bali berpendapat bahwa ada kalanya duduk bersama dengan para pendiri yayasan Hare kresna maupun pihak yang mengayomi Hindu di Bali ini.


Aksi Damai yang dilakukan Forum Komunikasi (Forkom) Taksu Bali dengan menggelar Parade seni dan Budaya Bali dengan tema Aksi Damai Taksu Bali, dengan mementaskan berbagai kesenian Bali yaitu Calon Arang dengan 30 watangan, Jogeg Bumbung, Bondres, Fragmen Tari, Ngurek, Bleganjur dan Angklung, pukul 11.30 wita, di lapangan Bajra Sandhi, Renon, Denpasar (03/08).

Mendapatkan apresiasi tetapi alangkah baiknya mengundang para pihak yang berkepentingan untuk duduk bersama, karena banyak juga masyarakat yang hidup berdampingan dengan kepercayaan ini sudah sejak lama, Ia berpendapat bahwa, "Menjaga rumah sendiri seperti diumpamakan rumah kita (adat kita) kebobolan, yang kita kuatkan adalah awig-awignya (aturan), bukan malah menggembok rumah orang lain, kalo itu dilakukan kita hanya bisa membuat kepanikan baru, tapi tidak menyelesaikan akar masalahnya, karena saya rasa banyak sekali yang memiliki kepentingan terhadap Pulau Bali yang tercinta kita ini, "ujarnya, siang itu saat makan siang sop ikan ala bumbu Bali (03/08).

Ia juga menambahkan bahwa berseteru dengan saudara Bali kita sendiri yang belum memahami esensial dari budaya Hindu Bali ini, harap dimaklumkan juga, "Mungkin sudah saatnya pihak yang mampu menerangkan tentang budaya, adat istiadat secara detail ini, baik melalui seminar-seminar, atau buku cetak bahkan disekolah-sekolah di Bali, tentang fungsi, maksud dan tujuannya ini jauh lebih bijak, jadi bisa memperkaya dan sekaligus memperkuat mental dari anak-anak generasi mudanya, " harapnya.

Jadi generasi muda tidak hanya paham kulit luar dari adat istiadat kita saja, yang cenderung di sisi modern ini menjaga eksistensi budaya Bali itu harus seimbang dengan daya pikir instan generasi muda saat ini, ada cara simple, berbiaya murah dan juga pengetahuan yang didalamnya dari kegiatan-kegiatan adat, Budaya dan agama Hindu itu sendiri.

"Sebagai contoh kejadian baru ini ada yang menempati suatu pekarangan kantor, ini anak-anak bukan Bali yang ingin melakukan upacara di wilayah Bali sini (karena percaya) , kadang oknum yang mengaku paham memberikan angka fantastis, 5 juta rupiah begitu, padahal yang harus dia keluarkan untuk upacara prayascita sama caru nguwak saja, mungkin cuma 450 ribu rupiah, tidak lebih dari 1,5 juta untuk seluruhnya, hal-hal beginilah yang saat mereka tahu, mereka merasa dibohongi, walaupun sebenarnya benar secara upacara yang dilakukan, tetapi tidak mendapatkan penjelasan yang baik,"ceritanya.

Karena sampradaya atau aguron-guron itu memiliki makna yang universal, yang merupakan aliran kepercayaan, percaya kepada guru bijak serta memiliki Adikara (disiplin), seperti Karma, bhakti, dan jnana, memuja salah satu manifestasi Tuhan (ista dewata). Dalam faktanya dimasyarakat sampradaya termuat dalam kitab-kitab Purana, Regweda, Bagawad Gita, dan lain-lainnya.

Yang dalam tradisi Hindu di Indonesia terdahulu terdapat banyak sekte atau paksa seperti Waisnawa, Siwa, Sakta, Ganapatya, Jaina, Gaura, dan lain sebagainya. Sehingga keberadaannya di masyarakat dapat diibaratkan sebagai sebuah taman sari yang indah penuh dengan aneka bunga warna-warni. (Ray)


No comments